BRTI menilai Google harus diperlakukan sebagai penyedia konten yang pendapatannya bergantung pada rating. Tujuan Google mendirikan kantor di Indonesia adalah mencari iklan dan menjadikannya sebagai pasar. Perlu strategi agar operator pun menikmati keuntungan dari meningkatnya trafik layanan Google.
Itulah kesimpulan yang diambil oleh BRTI tentang kehadiran Raksasa Dunia Maya Google, dan juga para pemain dunia maya lainnya yang berlomba-lomba masuk ke pasar Indonesia.
Jelas mereka datang ke Indonesia bukan sebagai filantrofis atau dermawan yang akan akan membagi-bagi kekayaan mereka kepada rakyat Indonesia, tetapi mereka datang sebagai pebisnis biasa, yang ujung-ujungnya adalah untuk menambah kocek mereka sendiri (UUD).
Jadi kita sependapat dengan BRTI, bahwa perlakuan bagi Google dan kawan2nya adalah perlakuan sebagai pebisis biasa lainnya, tidak lebih dan tidak kurang. Mereka adalah Content Provider yang berbisnis untuk mendapatkan keuntungan dan ingin menguasai pasar domestik di Indonesia, khususnya pasar iklan di Dunia Maya. Daya tarik Indonesia bagi mereka adalah karena besarnya jumlah penduduk Indonesia, yaitu 250 juta orang yang menempati urutan ke-empat negara dengan penduduk terbesar di dunia.
Selain dari pada itu, masyarakat Indonesia sudah sangat mengenal dan menggunakan Internet, baik secara sadar maupn tidak sadar, sebab baik itu facebook, twitter dan blogs adalah berbasiskan Internet, terutama di Indonesia berbasiskan jaringan pita lebar bergerak (mobile broadband) dan perangkat terminal ponsel.
Kehadiran tamu2 asig itu di Indonesia itu tentu akan berdampak makin ramainya trafik Internet atau data di Indonesia, dimana para penyelenggara jaringan telekomunikasi Indonesia harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan pita data yang makin berkecepatan tinggi dan investasi modal perangkat jaringan yang makin besar, namun dengan imbalan revenue yang mengecil per Megabyte data yang ditransmisikan.
Demi keadilan bisnis, maka BRTI perlu membuat aturan agar para pemain baru OTT (Over-the-Top) itu turut menyumbang biaya yang telah dikeluarkan oleh para penyelenggara jaringan telekomunikasi domestik Indonesia untuk kelancaran lalulintas daat/internet dan kepuasan pelanggan.
Cara lain adalah dengan mewajibkan para pemain OTT itu menempatkan perangkat dan server mereka di Indonesia untuk mempercepat transmisi sever-pelanggan dan menghemat biaya saluran sewa data ke luar negeri.
Namun tidak kalah pentingnya adalah membiasakan budaya masyarakat Indonesia agar lebih mencintai produk dalam negeri untuk beriklan. Banyak sekali situs-situs untuk pasang iklan di dalam negeri milik anak-anak bangsa, seperti:
http://e-iklanbaris.com
http://kliklan.com
http://pasangiklancepat.com
Silahkan mencobanya untuk pasang iklan di Dunia Maya secara gratis....untuk memajukan bisnis para UKM dan pengusaha individu..
Semoga bermanfaat.
Welcome Message
Blog ini didedikasikan bagi Masyarakat Dunia Maya Indonesia sebagai Forum Komunikasi antar para penggiat teknologi Dunia Maya agar dapat saling berukar informasi dan perkembangan teknologi Dunia Maya di Indonesia dan di Dunia Global Untuk memberikan Komentar/Tanggapan atas posting di Blog ini, Silahkan Klik icon "?" dan isikan komentar/tanggapan Anda sekalian. Silahkan tekan TAB bila diminta mengisi KODE VERIFIKASI Semoga bermanfaat.
MP3 Clips
Dengan makin tersedianya jaringan Internet berkecepatan tinggi / jaringan pita lebar diseluruh dunia, termasuk Indonesia, maka dimungkinkan pengumpulan dan akses berbagai data yg tersedia sangat berlimpah. Keberhasilan dalam mengolah data yang tak terstruktur yg berlimpah itu menjadi informasi yang bermanfaat telah ditunjukkan oleh perusahaan global yang besar seperti Google, Yahoo, Salesforce, Facebook, IBM yang menjadikan mereka peusahaan-perusahaan yang sangat menguntungkan dan berkapitalisasi sangat tinggi di pasar saham global.
Dewasa ini para analis data sangat dibutuhkan oleh banyak perusahaan untuk mengolah data-data yang berlimpah itu menjadi informasi yang bernilai sangat tinggi bagi bisnis mereka, seperti info tentang profil pelanggan, kebiasaan atau kesukaan mereka dalam membeli barang dan jasa, jenis produk atau jasa yg mereka gemari, dan lain-lain.
Data yang sekecil apapun, bila kita bisa mengolahnya secara kreatif dan inovatif, bisa menjadi informasi yang sangat bermanfaat bagi bisnis maupun dalam pengambilan keputusan-keputusan penting dalan ekonomi, bisnis, strategi Pemerintah maupun bisnis swasta. Data-data itu tidak lagi dapat diproses secara tersuktur seperti menggunakan basis data SQL, melainkan menggunakan sistem pengolahan data yang tidak terstruktur oleh karena besarnya volume data dan besarnya variabel yang diperlukan. Mesin pengolah SQL sudah tidak lagi mapu mengolahnya, maka dikenal pemroses data Non-SQL sbagai gantinya, menggunakan komputer berkecepatan sangat tinggi, multi-processors atau parallel processors.
Analoginya adalah seperti saat kita mulai menggunakan mikroskop, maka kita akan menemukan berbagai temuan-temuan baru yang memungkinkan kita membuat keputusan pengobatan penyakit yang dahulunya tidak kita ketahui. Demikian pula dengan Era Big Data atau Banjir Data yg terjadi saat ini dengan kemajuan teknologi masa kini, kita bisa menemukan hal-hal baru yang sebelumnya tidak kita ketahui.
Contohnya, info yang berseliweran di dunia maya, seperti pembicaraan kita atau keluhan-keluhan dan kritik-kritik kita, opini kita melalui email, chatting, messaging, SMS, Facebook, Twitter, blogs, komentar di forum diskusi elektronik, dsb, dapat dilolah sebagai Big Data untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang bermanfaat bagi perusahaan, bisnis, maupun dalam membuat kebijakan Pemerintah.
Contoh penggunaan Big Data dalam dunia political science adalah untuk menganalisa pidato2 di DPR, press release, dan info lainnya, untuk mengetahui bagaimanakah suatu ideologi politik itu bisa menyebar luas di suatu negara atau wilayah.
Rick Smolan, pencipta serial fotografi "Day in the Life" berniat untuk membuat proyek "The Human Face of Big Data" melaui dokumentsi dan koleksi Big Data yang akan diolah menjadi "humanity dashboard", atau panel untuk menampilkan apa yg sedang terjadi, misalnya tanda-tanda munculnya kemiskinan di suatu wilayah atau negara, dari analisis Big Data itu. Bila kita tidak berhati-hati dalam mengelola Big Data ini, maka bisa menjadi "Big Brother", momok yang mengawasi gerak-gerik kita seperti diramalkan oleh George Orwell dalam novelnya yang berjudul "Ninteen-Eighty-Four" pada tahun 1949.
Perihal penggunaan Big Data ini ternyata telah dan akan digunakan di Indonesia, melalui proyek Global Pulse yang dibiayai oleh PBB tahun 2012 ini. Indonesia ditunjuk oleh Sekjen PBB sebagai tempat untuk melaksanakan Riset Global Pulse, memantau kondisi masyarakat miskin Indonesia dalam situasi krisis global, dan mengambil kebijakan sosial-ekonomi untuk membantu mereka. Mitra PBB di Indonesia adalah BAPPENAS, dengan dibantu oleh operator telekomunikasi Indonesia (TELKOM?).
Bagi perusahaan swasta, kemampuan untuk menganalisis Big Data ini akan dapat memajukan bisnis mereka cukup signifikan, seperti yang telah dilakukan oleh Google, Yahoo, Salesforce, Facebook, IBM dan lainnya. Ini memerlukan ahli-ahli analisis Big Data yang kreatif dan inovatif. Banjir data memang memberikan berikan keuntungan bisnis bagi perusahaan-perusahaan "Over-the-Top" tersebut diatas. Namun bagaimana dengan nasib para penyelenggara telekomunikasi yang kobol-kobol menyalurkan Big Data itu melalui jaringannya. Akankah mereka hanya bisa menunggu dan menyerahkan nasibnya pada kemajuan teknologi dan kemajuan zaman?
Silahkan ditanggapi.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh merespons, jika memang jumlah jurnal dinilai kurang, maka perguruan tinggi diserukannya untuk membuat jurnal ilmiah. Nuh mengatakan, tak sulit untuk membuat jurnal ilmiah yang terakreditasi. Lalu, bagaimana caranya?
Kepala Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI), Sri Hartinah, yang ditemui Kompas.com, Selasa (7/2/2012), mengutarakan proses yang harus dilalui dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk mengakreditasi sebuah jurnal ilmiah. Jurnal ini tak terbatas yang dibuat oleh perguruan tinggi, tetapi juga lembaga-lembaga penelitian.
Sri memaparkan, setelah terdaftar resmi dan mendapatkan International Standar Serial Number (ISSN), maka syarat selanjutnya yang harus dipenuhi adalah menyesuaikan tata cara penulisan jurnal yang telah ditentukan.
Sebuah jurnal ilmiah, kata dia, baru akan diakreditasi ketika karya ilmiah yang dimuat di dalamnya memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Mencantumkan abstraksi dan kata kunci dalam bahasa Inggris;
2. Menggunakan metodologi dan tata cara penulisan ilmiah yang sesuai.
"Jangan lupa menggunakan referensi penulisan dari jurnal internasional, di-review oleh para pakar, dan minimal telah terbit selama tiga tahun berturut-turut," kata Sri, di Gedung LIPI, Jakarta.
Ia menambahkan, sah-sah saja sebuah karya ilmiah menggunakan buku sebagai referensi tulisan. Tetapi, akan lebih baik jika sebuah karya ilmiah menggunakan referensi dari banyak jurnal. Selain aktual, jurnal juga menyajikan ilmu yang pandangannya lebih luas.
"Referensi memang sebaiknya dari jurnal. Dari buku boleh saja, tapi nilainya akan turun," ujarnya.
Pendaftaran jurnal dan ISSN
Untuk mendaftarkan sebuah jurnal dan mendapatkan ISSN, lembaga penelitian atau pun perguruan tinggi harus melewati beberapa proses, yaitu:
1. Membawa surat permohonan tertulis dari penerbit bahwa terbitan berkala;
2. Membawa dua eksemplar terbitan pertama, atau dua lembar fotokopi halaman sampul depan bila jurnal tersebut belum diterbitkan;
3. Menyertakan dua lembar fotokopi halaman daftar isi;
4. Menyertakan dua lembar fotokopi halaman dewan redaksi;
5. Melampirkan data bibliografi lengkap yang mencakup keterangan mengenai frekuensi terbit, tahun pertama terbit, bahasa yang digunakan, dan lain sebagainya.
Masing-masing ISSN dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 200 ribu. Registrasi bisa dilakukan langsung di PDII LIPI, atau mendaftar secara online melalui http://issn.pdii.lipi.go.id. Adapun, persyaratan serta bukti transfer biaya ISSN melalui surat atau fax.
ISSN adalah kode yang dipakai secara internasional untuk terbitan berkala, dan diberikan oleh International Serial Data System (ISDS) yang berkedudukan di Paris, Perancis. Dengan mendapatkan ISSN, akan memudahkan untuk mengidentifikasi beberapa terbitan yang memiliki judul sama karena satu ISSN hanya diberikan untuk satu judul terbitan berkala. ISSN juga mempermudah pengelolaan administrasi dalam hal pemesanan terbitan berkala. Sebab, pemesanan cukup hanya menyebutkan ISSN dari terbitan berkala itu.
"Bagi jurnal ilmiah yang terbit di Indonesia, ISSN merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi," kata Sri.
"Saya rasa jumlah jurnal yang kita miliki sekitar 7.000, dan sudah 300-an yang terakreditasi LIPI," kata Sri, saat ditemui di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa (7/2/2012).
Ia menjelaskan, ada dua kategori jurnal ilmiah. Pertama, jurnal ilmiah dari lembaga penelitian yang tata kelola dan proses akreditasinya dilakukan oleh LIPI. Kedua, jurnal ilmiah perguruan tinggi yang tata kelola serta akreditasinya dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Di luar itu, kata Sri, meski rendah, namun ia menilai banyak bermunculan jurnal dalam bentuk baru. Baik itu jurnal online, mau pun jurnal elektronik (e-journal). Jurnal online adalah jurnal ilmiah dalam bentuk cetak yang ditransformasikan ke dalam teknologi informasi. Keterbukaan dan perkembangan akses internet adalah alasan menjamurnya jurnal model ini.
Adapun untuk e-journal, dijelaskan Sri, merupakan bentuk jurnal ilmiah yang sejak awal penulisan, administrasi, sampai pada publikasinya menggunakan perangkat elektronik. E-journal tidak memiliki jurnal dalam bentuk cetak.
"Jurnal online sudah banyak, tapi e-journal masih sedikit. Mungkin jumlahnya tidak sampai sepuluh," ujarnya.
Perhatian terhadap jumlah dan eksistensi jurnal ilmiah di Indonesia kembali mencuat setelah Ditjen Dikti mengeluarkan surat edaran yang mengharuskan mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 untuk memublikasi karya tulis ilmiahnya sebagai syarat kelulusan. Namun, ada keresahan akan kesiapan jurnal-jurnal yang ada untuk menampung tulisan mahasiswa yang jumlah diyakini tidak seimbang dengan jumlah jurnal ilmiah. Ketentuan ini berlaku bagi mahasiswa yang lulus setelah Agustus 2012.
Jejaring sosial tebesar didunia, Facebook akan melangsungkan Penawaran Saham Perdanayanya ke masyarakat (IPO) pada minggu depan. Saat ini FB memiliki jumlah pelanggan sebesar lebih dari 800-juta orang, dan penghasilan tahun 2011 sebesar US$3,8 Trilyun dan laba usaha sebesar US$1,5 Milyar. Valuasi nilai saham FB diperkirakan sebesar US$75-100 Milyar, dan saat IPO diperkirakan menghasilkan dana sebesar US$10 Milyar (Rp 90 Trilyun) yang merupakan terbesar ke-empat setelah IPO Visa, General Motors dan AT&T Wireless.
Singkat kata, perusahaan jejaring sosial global FB ini ternyata dapat memberikan nilai tambah yang sangat besar (ROI), dengan modal investasi yang relatif kecil. Ini berbeda dengan bisnis layanan jaringan telekomunikasi yang membutuhkan modal CAPEX yang sangat besar, namun pengembalian modal yang kecil dan untuk jangka waktu yang lama.
Perusahaan sejenis ini, seperti Google, Yahoo, Salesforce, dan lainnya memang dewasa ini sedang booming meraih laba yang besar tanpa harus melakukan investasi yang besar. Ini adalah tren baru perusahaan2 dengan model bisnis "over-the-top" yang sangat menguntungkan.
Jakarta - Indonesia rupanya telah bikin Multiply kepincut. Sampai-sampai, perusahaan e-Commerce asal Amerika Serikat ini berani mengambil langkah besar dengan memindahkan kantor pusatnya, dari Florida ke Indonesia.
Menurut Peter Pezaris, Founder and CEO Multiply Inc, proses pemindahan ini akan berjalan dalam jangka waktu 12 bulan ke depan. Ia berharap, langkah ini dapat menjadi landasan kuat bagi masa depan bisnis online Multiply di Indonesia.
"Tentunya semua ini adalah bentuk komitmen kami dalam memajukan potensi e-commerce di Indonesia," kata Peter dalam acara Multiply Online Seller Convention (MOSCON) di The Hall, Senayan City, Jakarta, Sabtu (28/1/2012).
Terus meningkatnya ketertarikan masyarakat Indonesia terhadap belanja online, telah mendorong Multiply untuk menjalankan bisnis secara serius di Indonesia. Langkah ini telah dilakukan Multiply sejak awal 2011 lalu.
Menurut Peter, tahun 2011 merupakan tahun yang penting bagi Multiply, dimana Multiply resmi mengubah fokus menjadi sebuah platform jual beli dengan model Marketplace berfitur lengkap.
Multiply, kata dia, semakin mempermudah transaksi online yang aman dan nyaman dengan menawarkan layanan-layanan inovatif. Mulai dari perlindungan pembeli, sistem inventori yang terintegrasi, dan gratis ongkos kirim yang kini diperpanjang hingga
Maret 2012.
"Sejak diluncurkan pada bulan Februari 2011, jumlah online merchant kami yang sebanyak 25.000 meningkat lebih dari 100% menjadi 60.000 di bulan Januari 2012," ungkap Peter.
MOSCON
Untuk memperkuat hubungan dengan para online seller di Multiply dari berbagai daerah, Multiply Indonesia menggelar acara Multiply Online Seller Convention (MOSCON) untuk kali pertamanya di Indonesia.
Acara ini merupakan kesempatan bagi para online seller untuk dapat bertatap muka langsung untuk berbagi cerita, mendapatkan tips-tips jual-beli online sukses dari para bos Multiply, seperti Peter selaku CEO Multiply dan Daniel Tumiwa yang jadi Country Manager Multiply Indonesia.
Selain itu, di acara tersebut para penjual online akan menghadiri beberapa forum diskusi dan kelas training interaktif untuk semakin mengembangkan potensi bisnis mereka.
"Kami berharap para penjual online yang terlibat hari ini dapat memahami tagline konvensi ini 'Ini Baru Jualan'. Bagi kami tagline ini memiliki dua makna yaitu sistem platform baru yang tepat untuk meningkatkan bisnis online shopping, yang kedua bahwa mereka puas setelah menggunakan Multiply sebagai landasan berjualan mereka," kata Daniel.
Selain dapat bertatap langsung dengan para eksekutif top Multiply, para peserta konvensi yang berprestasi dalam penjualan mereka akan mendapatkan penghargaan dari Multiply Indonesia. Penghargaan diberikan kepada toko-toko yang meraih nilai transaksi dan traffic tertinggi selama tahun 2011.
Pemenang menerima berbagai macam hadiah, mulai dari gadget canggih hingga perangkat home theater. Dalam rangka meraih sukses yang berkesinambungan, Multiply Indonesia berkontribusi dalam mengedukasi masyarakat Indonesia mengenai potensi e-commerce di Indonesia.
"Multiply ingin membangun sebuah landasan belanja online yang mudah dan nyaman dengan berbagai fitur yang ditawarkan. Di antaranya, pembeli dan penjual dapat berinteraksi dan bertukar pendapat sebelum memutuskan untuk membeli barang serta
keunggulan-keunggulan lainnya baik untuk pembeli dan online seller," pungkas Daniel.
( rou - detik.com 28 Jan 2012)
Jakarta (ANTARA News) - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sedang mempersiapkan pengembangan sistem perangkat lunak pemilihan umum elektronik (e-voting) yang tertanam (embedded) pada perangkat keras khusus e-voting.
"Perangkat ini usai digunakan pada Pemilu nasional, juga bisa dipakai untuk berbagai pemilihan seperti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) hingga Pemilihan Kepala Desa (Pilkades)," kata Kepala Program e-voting BPPT Andrari Grahitandaru seusai Diskusi dan Simulasi Pemilu Elektronik dengan 20 anggota DPRD Kabupaten Gianyar di Jakarta, Kamis.
Sebelum merancang perangkat ini, ujarnya, tentu saja harus mengkaji berbagai pengalaman kegagalan e-voting yang pernah terjadi di beberapa negara seperti di Irlandia atau India yang perangkatnya tak dilengkapi oleh sistem verifikasi.
Contoh kegagalan lainnya adalah ketika dilakukan eksperimen pertama "online voting" di AS pada Oktober 2010, dimana para pejabat di Washington, DC, mendirikan sebuah sistem berbasis internet untuk pemilih luar negeri yang akan memberikan suara mereka.
"Para hacker tidak hanya mampu menembus sistem, tetapi juga sedang memantau apa yang terjadi di dalam sistem itu sendiri. Para siswa bisa melihat tanda tangan elektronik dari hacker yang berbasis di China dan Iran," katanya.
Karena itu, tambahnya, Indonesia sebaiknya belum menggunakan sistem online dalam menerapkan e-voting karena selain keamanannya tak bisa dijamin, infrastruktur internet belum merata, ditambah lagi banyak masyarakat yang gagap teknologi.
"E-voting juga hanya akan diterapkan bagi daerah yang memang benar-benar telah siap, baik dari sisi teknologi, pembiayaan, perangkat lunaknya, serta kesiapan masyarakat. Mereka yang belum siap tetap menerapkan pemilu konvensional," katanya.
Namun diakuinya, teknologi pemilihan umum elektronik (e-voting) berkembang sangat cepat di dunia, bahkan di Estonia pemilu elektronik sudah menerapkan sistem "mobile voting" melalui ponsel.
Estonia, suatu negara di Eropa yang penduduknya kebetulan hanya sedikit (lebih dari satu juta jiwa), disebutkannya, sudah berhasil menyelenggarakan e-voting dengan sistem internet (online) secara bertahap pada 2005, 2007, dan 2009. Lalu kemudian pada 2011 menerapkan pemilu melalui ponsel.
Selain Estonia, negara bagian di AS yakni Oregon, sudah memungkinkan penyandang cacat untuk memilih dengan iPad selama pemilihan khusus pada bulan November 2011.
Sementara itu di Long Beach, California, AS, diuji coba tracking kotak suara dengan menempatkan identifikasi frekuensi radio (RFID), chip di kotak suara untuk melacak gerakannya setelah pemungutan suara ditutup.
Sedangkan negara-negara bagian lainnya baru menginstal scanner berkecepatan tinggi untuk membantu menghitung surat suara (kertas bukti) lebih cepat.
(T.D009/Z002)
Facebook sebentar lagi akan melaksanakan penjualan sahamnya melalui IPO, namun dimanakah keuntungan yang bisa diperolehnya? Berikut ini adalah sebuah tulisan dari Craig Beattle tentang hal ini:
For Facebook however, people use the site for lots of different purposes so it’s harder to hold back such targeted functionality. Actually I think Facebook could learn from Apple and Blizzard – the games company behind World of Warcraft. Blizzard made $1 million in 1 hour by selling a flying horse in their game. The horse was actually no better than ones you could find in the game, and you already had to be able to ride one (so probably had something similar already) in order to buy. It was kind of pretty and just a few dollars so, despite offering no value or advantage in the game, millions of players bought it for real world dollars. Zynga and a number of other social game developers have taken this further with the possibility of playing games for free, but paying a little cash to be able to play the game faster or have that one extra thing that looks quite pretty. Virtual goods available at a low price are now a huge market.
What does this mean for Facebook? There’s a scam going around on Facebook at the moment promising to be able to turn your Facebook page pink rather than the usual blue. People are clicking on it because they want it – I have little doubt that if Facebook charged $0.10 to change the color of Facebook profiles we would see them make $1 million in less than an hour. Although, that’s not even the sweet spot here. If Facebook were able to control the payment method as Apple does in the App store, then they could take a little revenue from everyone using their platform, from all the virtual purchases (again, as Apple does on all those little purchases through apps and in the app store). Facebook is starting to do this already – this is what Facebook credits are about.
In my view it’s not in Facebook’s interest to offer Facebook-branded products (save except for caps or t-shirts possibly), but rather to corner social commerce, to create a platform where it’s easier and more convenient to purchase items in Facebook credits – all the while seamlessly sharing the purchases and implicitly recommending products to their friends.
What does this mean for insurers?
One is do the virtual goods need insurance? Personally I’m not sure about digital equine & aviation insurance in World of Warcraft or virtual farm insurance in Farmville, but Eve Online did have space ship insurance built in. Does anyone remember Second Life and the virtual businesses operating in it?
The second and more important one is that Facebook will become a platform for doing business. The infrastructure is already in place, the opportunity is too great and the current client base too large for this to be ignored. Today Facebook credits are just for games, tomorrow why wouldn’t young drivers top-up their pay-as-you-go car insurance on Facebook? All the while sharing the product and provider with their friends as they do it.
Facebook isn’t going to be the next virtual shop on the high street, it will be a new high street on which established brands and new brands build their shops
0