Saya ingin berbagi tulisan yang menarik dari Bre Redana di Kompas Minggu 7 Nov 2010 sbb:
Kalau di dunia teks yang pembacaannya linier saja bisa menghantarkan manusia terpental pada kekosongan, bagaimanakah dengan kebudayaan visual, dunia jejaring yang sifatnya multimessage, pesan dan berita yang sifatnya berlapis-lapis? Dari suatu teknologi yang disebut multimedia? Makin tak jelas mana yang mimpi dan mana yang kenyataan.
Itulah tontonan sehari-hari kita, atau bahkan kehidupan sehari-hari kita. Lewat reality show kita sama-sama dibalut mimpi bahwa hidup bisa berubah seketika. Seseorang dari pinggir jalan tiba-tiba masuk orbit perbintangan yang terang benderang berkilauan. Dari situ ada yang terlempar lagi keluar, melata dipinggir jalan lagi. Yang terakhir ini tak lagi terliput karena sudah bukan menjadi bagian dari impian.
Yang dinikmati oleh orang adalah gebyar. Industri secara sadar merekayasa gebyar. Tanyalah pada mereka yang dekat dengan dunia hiburan. Figuran-figuran cantik yang muncul entah di TV atau film banyak yang harus kos atau tinggal di gang-gang sempit di Jakarta. Ada produser yang melarang mereka makan di warteg pinggir jalan demi menjaga citra. Padahal untuk makan di hotel berbintang, sangat mahal kecuali kalau ada oom-oom yang mengajak.
Terhadap dunia teks yang konon telah mendaratkan manusia pada keniscayaan modernisme termasuk beberapa ekses alienasi, betapapun ummat manusia berhutang taruhlah pada isme semacam nasionalisme. Benedict Anderson menelusuri rasa kekomunitasan yang kemudian menjadi rasa kebangsaan, terbentuk karena teks. Itulah yang bisa kita baca dari Imagined Communities.
Nyatanya, tak ada isme yang begitu kuat, yang mengikat kita, bahkan yang membuat orang rela mati atasnya, kecuali nasionalisme. Banyak makam pahlawan tak dikenal, dengan di bawahnya kita tahu ada yang terbujur mati atas nama nasionalisme. Adakah isme sekuat ini? Adakah makam tak dikenal untuk mereka yang mati karena konsumerisme misalnya?
Kita benar-benar tak tahu atau pura-pura tak tahu mengenai hal itu. Yang jelas, kita membutuhkan figur yang bisa kita pas-paskan untuk menyenangkan diri kita, dari dunia yang tak kita pahami. Dari Nike Ardilla sampai Mbah Surip kita subyo-subyo (puji-puji) dengan mengilusikan hidup mereka sebagai penuh perjuangan. Soalnya, belum ada pusara yang bisa mengganti istilah pahlawan tak dikenal dengan idee lain yang lebih spesifik untuk zaman yang berubah ini. Kita semata-mata butuh tumbal untuk menghidupkan nilai-nilai yang kita anggap ideal.
Sekarang kepecayaan kita kepada sendi-sendi kehidupan yang kita anggap luhur goyah. Kita sama-sama tak percaya bahwa anggota DPR yang studi banding ke Yunani, sepulangnya dari sana akan menjadi Socrates. Sama kurang yankinnya kita kalau semua anggota DPR dikirim ke Harvard, semua akan jadi seperti Dr. Arief Budiman. Yang lebih mungkin mereka pulang dengan mengenakan T-shirt bertuliskan Harvard University.
Di tengah kancah kehidupan seperti ini gunung Merapi meletus. Mbah Maridjan, orang desa yang lugu yang dikultuskan media, tewas terpanggang awan panas. Sejak beberapa waktu terakhir, dia berusaha menghindari orang, apalagi media massa. Ia telah teralienasi, mungkin seperti yang di-ekpresikan oleh Satre dalam Huis Clos: orang lain adalah neraka.
Yang mengepung Mbah Maridjan waktu itu jangan-jangan bukan hanya awan panas yang disebutnya wedus gembel. Wedus gembel itu adalah kita semua.....
Itulah sekilas gambaran kehidupan yang kita hadapi sehari-hari, Silahkan ditanggapi dan semoga bermanfaat.
Welcome Message
Blog ini didedikasikan bagi Masyarakat Dunia Maya Indonesia sebagai Forum Komunikasi antar para penggiat teknologi Dunia Maya agar dapat saling berukar informasi dan perkembangan teknologi Dunia Maya di Indonesia dan di Dunia Global Untuk memberikan Komentar/Tanggapan atas posting di Blog ini, Silahkan Klik icon "?" dan isikan komentar/tanggapan Anda sekalian. Silahkan tekan TAB bila diminta mengisi KODE VERIFIKASI Semoga bermanfaat.
MP3 Clips
Posted on :
9:12 PM
| By :
S Roestam
| In :
Kita semua Wedus Gembel
,
Realita masa kini
,
Reality Show
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment